Sabtu, 23 Desember 2017

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU BAGIAN KE 7

Sumber : Kuliah Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Seorang ahli filsafat dari Prancis Auguste Comte, merintis salah satu aliran filsafat yaitu positivisme. Manusia hidup berdampingan dengan agama tertentu yang dianutnya. Namun pada masa itu, agama dianggap sebagai sesuatu hal yang tidaklah penting. Auguste Comte menekankan pada keteraturan sosial, begitu ia malihat sejarah ia mengakui bahwa agama di masa lampau sudah menjadi satu tonggak keteraturan sosial yang utama. Auguste Comte meyakini bahwa agama muncul dari sebuah tahapan tertentu dari sejarah manusia. Di sisi lain, Comte meyakini bahwa masyarakat selamanya butuh pada agama, artinya bahwa dari satu sisi agama terancam kepunahan, karena agama berhubungan pada masa dahulu, dan sebab itu agama harus digantikan dengan sesuatu yang sesuai dengan masa kekinian. Selain itu, masyarakat butuh pada sebuah sistem yang dapat menyatukan mereka, sebuah ide-ide umum dan universal, yang hanya dapat diberikan oleh agama.
Tidak berbeda dengan kehidupan yang saat ini terjadi. Agama diperoleh sejak manusia lahir di bumi ini. Sejalan perkembangan manusia, terdapat teknologi yang mengiringinya. Dan teknologi berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Semua manusia berlomba-lomba untuk menciptakan segala teknologi canggih. Bahkan terkadang manusia tertipu daya oleh keberadaan teknologi. Akan tetapi teknologi canggih ciptaan manusia masih belum ada bandingannya dengan ciptaan Allah SWT. Apa yang ada di dunia ini tidak lain karena ciptaanNya. Apa yang dapat manusia lakukan ialah bersyukur terhadap ciptaan Allah SWT.
Manusia tidak terlepas dari suatu pemikiran. Melalui akal dan pikirannya, manusia mampu memikirkan segala hal. Namun hanya Allah SWT sebagai Sang Maha segalaNya sehingga manusia sebagai makhlukNya memiliki keterbatasan dalam sesuatu hal tertentu. Oleh karena itu terkadang yang manusia lakukan adalah mencoba-coba sesuatu hal yang baru yang belum pernah ia lakukan untuk mendapatkan suatu pengalaman. Hal baru tersebut akan menempatkan intuisi penglihatan, pendengaran, dan perasaan sebagai bekal memperoleh pengalaman yang baru.  

Dimensi dari setiap manusia merupakan hal yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Untuk menaikkan dimensi dari setiap manusia maka ia akan melakukan sesuatu hal yang baru agar mencapai dimensi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Manusia seyogyanya tetap terus belajar sebagai bekal untuk menambah pengalaman sehingga dapat menaikkan dimensinya. Keterbatasan yang ada pada setiap manusia bukanlah penghalang untuk menjadikan manusia sukses dan berhasil di suatu bagian dari kehidupannya. Akan tetapi sebagai makhluk Allah SWT tetap selalu ingat bahwa dimensi tertinggi dari kehidupan ini adalah Allah SWT yang tidak akan dapat dikalahkan oleh manusia. 

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU BAGIAN KE 6



Sumber : Kuliah Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Terdapat tingkatan di dalam berbagai aspek di kehidupan. Seperti halnya dalam matematika yang juga terdapat tingkatan di dalamnya. Tingkatan terendah dalam matematika adalah suatu pengertian. Berpikir mengenai pengertian tersebut berkaitan dengan konsep yang ada dalam matematika. Adapun konsep jika ditinjau dari filsafat dapat berarti objek. Sebagai contohnya yaitu konsep titik (objek titik). Titik tidak dapat didefinisikan, bayangan dari titik adalah yang ada dan yang mungkin ada. Adapun keberadaan dari titik tersebut terikat oleh ruang dan waktu.
Wadah dan isi merupakan sesuatu yang memiliki struktur dan memiliki dimensi. Wadah dan isi merupakan hal yang ada dan yang mungkin ada. Melalui pikiran manusia yang telah dianugerahkan dari Allah SWT dapat terbentuk suatu konsep baru tentang pengetahuan. Antara pikiran dan kenyataan, masing-masing memiliki keterkaitan dengan predikatnya. Sehingga sebenar-benar predikat hanya mampu dipikirkan. Ingatan yang ada di pikiran manusia merupakan salah satu titik diantara keseluruhan yang ada.
Yang dilakukan manusia di muka bumi ini adalah berbuat kebaikan dan tidak luput dari berbuat keburukan atau kesalahan. Namun, keburukan tidak perlu diingat-ingat dalam pikiran hanya saja perlu diperbaiki dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat dan tidak mengulangi keburukan tersebut. Apa yang manusia bisa perbuat adalah berikhtiar serta berdoa agar apa yang dijalani mendapatkan ridho dan barokah dari Allah SWT.  
Di dalam ingatan tentu terdapat suatu skema pengalaman, pengetahuan, ataupun yang lainnya. Skema tersebut membentuk suatu pola tertentu yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Mengingat akan berkebalikan dengan melupakan. Lupa itu manusiawi. Siapa saja pasti tidak luput dari lupa. Ingatan akan secara alami melupakan hal-hal yang tidak berkesan, tidak diulang-ulang, tidak paham akan sesuatu hal. Apa yang menjadi poin penting dalam hal mengingat sesuatu adalah intuisi. Intuisi adalah suatu anugerah yang Allah SWT berikan kepada diri setiap manusia. oleh karena itu, penting untuk mengingat segala hal yang baik dari orang lain sebagai bahan refleksi diri sendiri dan melupakan hal-hal yang tidak baik. “Pikirkanlah apa yang kamu jalani, dan jalani apa yang kamu pikirkan, dan semua terangkum dalam doa”

Jumat, 22 Desember 2017

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU BAGIAN KE 5

Ruang dan Waktu dalam Kehidupan
Sumber : Kuliah Prof. Dr. Marsigit, M.A.



Manusia itu jauh dari kata sempurna. Namun sosok manusia adalah sosok yang berbeda dari makhluk Allah SWT lainnya. Dengan kata lain manusia relatif, sesuai dengan ruang dan waktunya. Peradaban dan kekuasaan menjadi faktor utama dalam pembentukan karakter manusia. Seorang anak yang tumbuh di lingkungan tertentu maka pribadinya akan terbentuk seperti lingkungannya. Orang tua sebagai contoh pertama dalam kehidupan seorang anak tentu memiliki peran penting dalam setiap perkembangan anak. Selama hidup di dunia, tentu manusia tidak luput dari kesalahan. Kesalahan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak baik, sebagai contohnya yaitu melakukan kebohongan. Hal yang sangat mudah dilakukan manusia. Setiap manusia akan mencoba menutupi setiap kebohongan yang telah ia lakukan. Kebohongan akan ditutupi oleh kebohongan baru, dan seterusnya. Oleh karena itu, manusia tidak bisa hidup jika tidak memakai topeng (baca: menutupi kebohongannya).
Terdapat suatu istilah yaitu “kanopi” yang berarti topeng. Kanopi yang dimaksudkan adalah hal yang berarti tempat berlindung, bersembunyi, dan sebagainya. Hal ini bisa menjadikan manusia menyalahgunakan kanopi tersebut untuk melindungi dirinya dari perilaku buruk yang telah ia lakukan. Manusia tidak akan bisa hidup jika tidak memakai topeng. Sehingga, semua manusia itu tidak lain adalah manusia bertopeng. Setiap manusia setidaknya pernah melakukan kebohongan. Entah disengaja atau tidak. Bahkan ketika topeng tersebut di buka, maka seorang manusia bisa jadi tidak bisa hidup dengan baik. Namun, sepandai-pandai manusia menyembunyikan sesuatu maka akan diketahui oleh Allah SWT.
Hal-hal yang buruk bisa tergatikan oleh hal-hal yang baik. Tentu saja dengan memperbaiki diri dengan melakukan kebaikan-kebaikan. Kedatangan dan kepergian merupakan hal yang wajar terjadi. Sebagai bagian dari menembus ruang dan waktu, akan terjadi reduksi dari hal-hal yang baik. Intuisi yang dimiliki manusia akan membantu untuk mengingat masa lampau dan yang sudah terjadi dan pada masa sekarang. Intuisi berkaitan dengan ingatan. Adanya ingatan akan membuat manusia memahami sesuatu hal. Sehingga manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan yang lainnya karena ia mempunyai intuisi dan ingatan.
Kehidupan jika ditinjau dari filsafat maka akan memiliki tingkatan atau dimensi. Dimensi tersebut terjadi secara bertahap sesuai dengan kondisi manusia. manusia dewasa memiliki dimensi yang berbeda dengan anak-anak. Misalnya, siswa SD diberikan pertanyaan terkait dengan materi SMP. Wajar saja jika ia tidak bisa menjawabnya, hal tersebut dikarenakan tidak cocok ruang dan waktunya. Sehingga pada dasarnya tidak ada pelajaran yang sulit. Hanya saja belum tepat penyampaiannya dalam hal ruang dan waktunya.

Selasa, 19 Desember 2017

HERMENEUTIKA KEHIDUPAN DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

(Refleksi Perkuliahan Filsafat dengan Prof. Marsigit tgl 28/11/2017)
 The Iceberg Approach of Learning Fractions in Junior High School: Teachers’ Reflection Prior to Lesson Study Activities

Hermeneutika merupakan suatu kondisi dimana segala sesuatu yang ada di dunia ini akan melakukan interaksi, baik berupa pemahaman, penafsiran, dan sebaginya sesuai dengan ruang dan waktunya. Hermeneutika dalam kehidupan diilustrasikan seperti pada gambar di atas oleh Prof. Marsigit. Hermeneutika hidup tersebut terdiri dari dua bagan, yaitu teori dan praktik. Parktik terletak di bawah teori, yang artinya manusia hidup tidak langsung mengenal suatu teori namun ia akan memulai segala sesuatunya dengan praktik. Sebagai contohnya yaitu seorang anak yang belajar berbicara. Ia akan memulainya dari latihan secara pertahap bagaimana mengucapkan suatu huruf. Kata, yang pada akhirnya kalimat. Hal ini tidak didasari oleh teori bagimana berbicara itu.
 Keseluruhan proses tersebut akan membentuk suatu spiral dan berputar tanpa putus. Apa yang dipelajari dengan praktik dan juga intuisi lama-lama akan mencapai pada puncaknya yaitu teori dan berujung pada pemahaman. Siklus tersebut akan berjalan terus dan berulang ketika menemukan suatu ilmu yang baru.
Tidak berbeda dengan pembelajaran matematika. Melalui hermeneutika ini, secara bertahap diawali dengan praktik, harapannya siswa mampu memahami matematika dengan baik. Adapun hermeneutika dalam pembelajaran matematika, oleh Prof. Marsigit diilustrasikan seperti berikut.
 Dalam pembelajaran matematika yang disampaikan pada siswa seygyanya adalah materi matematika sekolah (bukan pure mathematics). Hal ini dikarenakan perkembangan kognitif siswa belum mencapai tingkat tersebut. Bentuk daripada matematika sekolah ini digambarkan secara horizontal. Sedangkan pure mathematics digambarkan sebagai vertical mathematics. Adapun salah satu pendekatan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika di sekolah menurut Prof. Marsigit adalah Iceberg Approach yang diilustrasikan sebagai berikut.

Iceberg Approach merupakan gambaran gunung es matematika realistik sebagai salah satu pendekatan dalam berhermeneutika dalam pembelajaran matematika. Matematika sekolah seyogyanya dikaitkan  dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. sehingga, matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.  Realistik merupakan sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. seperti pada iceberg approach di atas, pada bagian paling dasar berisi objek-objek matematika yang nyata dan ada di kehidupan sehari-hari. kemudian di atasnya terdapat model matematikanya. Dilanjutkan dengan keterkaitan simbol dalam matematika (notasi formal). Sehingga pemikiran siswa akan naik bagaikan sedang mendaki gunung hingga sampai pada puncaknya yaitu pemahaman tentang matematika. Di sini lah peran guru dalam membawa siswa untuk sampai pada puncak tersebut.Siapa yang siap maka matematika akan menjadi bermanfaat bagi dirinya, begitupun sebaliknya, jika siswa kurang siap maka matematika akan menjadi bencana bagi dirinya. 

Minggu, 17 Desember 2017

REFLEKSI TENTANG PSIKOLOGI SPIRITUAL

(12/12/2017)

“Ojo nggege mongso”

Terjemahan dalam bahasa indonesia memiliki makna bahwa jangan mendahului keinginan tuhan. Jangan memaksakan sesuatu terjadi sebelum waktunya. Jangan mempercepat waktu atau makna sebenarnya adalah jangan memaksakan diri memperoleh hasil sebelum waktunya.

Jika dalam filsafat, hal yang demikian merupakan suatu “musuh”. Karena, sebenar-benar musuh dalam berfilsafat adalah yang mendahului kehendak tuhan.

Sebagai contohnya yaitu waktu masih kurang satu minggu namun dirasakan hanya kurang satu hari saja. Seorang yang memiliki adik berumur 1 tahun diperlakukan seperti anak yang berusia 10 tahun. Memaksakan buah muda agar segera matang. Atau bisa juga dengan memaksakan diri menempati kedudukan tertentu sebelum memiliki kesiapan atau bekal yg matang dan memadahi.
Apa yang boleh dilakukan yaitu bercita-cita maupun berangan-angan namun tidak dalam artian mendahului kehendak tuhan. Perbedaanya terletak pada optimalisasi hubungan antara kenyataan dan pikiran, antara harapan dan kenyataan. Melihat kenyataan untuk menentukan pemikiran kita yang logis dan realistis. Hal ini bisa disebut juga sebagai ikhtiar, yaitu usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi.


Segala sesuatu pasti memiliki proses dan tahapannya masing-masing. Tahapan tersebut harus dilalui satu persatu. Seperti diibaratkan dengan naik tangga. Jika ingin sampai ke tingkat paling atas dari tangga tersebut maka langkah kaki harus dimulai dari anak tangga yg paling bawah. Tidak bisa serta merta langung melangkah pada anak tangga paling atas. Oleh karena itu penting bagi manusia untuk selalu berikhtiar dan tidak lupa berdoa, karena Allah SWT memiliki jawaban terbaik atas doa dan ikhtiar manusia.

Seperti dalam Al-Qur’an Surat Al-Insyiqaq: 19 yang artinya : "Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)". 

REFLEKSI NILAI ETIK DAN ESTETIKA KESENIAN WAYANG

EPISODE : THE DEATH OF RAHWANA  
24/11/2017 - Museum Sonobudoyo

Aksiologi atau teori nilai dipandang sebagai ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan. Atau bisa juga dengan mempelajari tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Aksiologi penting untuk dipelajari, karena segala ilmu pengetahuan akan memiliki manfaat atau ada manfaatnya ketika digunakan dengan sebaik-baiknya. Setiap ilmu yang ada pasti memiliki nilai-nilai tersendiri. Oleh karenanya, terdapat dua penilain yang umum digunakan dalam aksiologi, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan salah satu cabang dalam filsafat yang membahas tentang masalah-masalah moral yang meliputi perilaku, norma, dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Sedangkan estetika merupakan cabang dalam filsafat yang membahas tentang nilai keindahan. Keindahan yang dimaksud adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta memiliki pola yang baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian di dalamnya.
Berkaitan dengan nilai etik dan estetika, terdapat salah satu kesenian yang berasal dari Jawa yaitu wayang kulit.
(Gambar pertunjukan wayang kulit tgl 24/11/2017 @ Museum Sonobudoyo)
Wayang memiliki arti bayang-bayang dan dikenal sebagai pertunjukan bayangan yang melibatkan dalang dan wayang sebagai objek yang dimainkannya. Pertunjukan wayang akan melakonkan cerita-cerita yang bersumber dari epos Ramayana atau Mahabharata. Dibalik cerita wayang, terdapat nilai-nilai yang mencerminkan kehidupan manusia. Wayang bercerita melalui bayangan. Adanya bayangan karena adanya cahanya yang menerangi gelap. Cahayapun memiliki sumber cahaya. Tidak berbeda dengan manusia. Manusia dapat dianalogikan sebagai lakon pewayangan yang muncul melalui suatu bayang-bayang dan bersumber dari cahaya yaitu Allah SWT. Kemudian melakukan segala berdasarkan dalang, yang dianalogikan dalam kehidupan dalang ialah Allah SWT. Sebagai seorang dalang, ia berhak atas tokoh yang dimainkannya, seperti halnya manusia yang menjalani kehidupan sesuai dengan skenario dari Allah SWT. Wayang menunjukan sisi estetikanya. Hal ini dapat dilihat melalui kreativitas manusia untuk melakukan suatu pertunjukan seni yang dinamis. Melaui kisah wayang memberikan nilai bahwa manusia seyogyanya mampu untuk bercermin, apakah perbuatan yang telah dilakukannya selama ini telah sesuai dengan ajaran agama? apakah perbuatannya merupakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh Sang Rama dan Hanoman, atau malah berbuat yang tidak baik seperti Sang Rahwana? Cerita wayang merefleksikan kehidupan manusia yang dipertunjukkan di suatu panggung dan mengajarkan bahwa sesuatu yang baik tidak sepenuhnya baik, sesuatu yang jahat tidak sepenuhnya jahat. 

Senin, 16 Oktober 2017

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 4 (Selasa, 10 Oktober 2017)

KOMPOSISI DUNIA DALAM FILSAFAT (Perjalanan di atas dan di bawah langit)
(sumber : Kuliah Prof. Marsigit, M. A.)


Assalamualaikum, Wr. Wb.
Bismillahirrohmanirrohim..
Esensi dari belajar filsafat telah diuraikan dalam penjelasan Prof. Marsigit pada perkuliahan beberapa waktu yang lalu. Melalui tulisan ini, saya mencoba merefleksikan kembali tentang materi tersebut.



Time line dari belajar berfilsafat, dianalogikan seperti kehidupan di lautan. Manusia sebagai ikan-ikan yang ada di lautan luas. Orang berfilsafat yaitu sedang mencari air yang jernih. Dari aliran air ilmu pengetahuan filsafat (dari awal hingga akhir jaman yang akan terus berkembang). Air laut merupakan muara dari aliran sungai yang bermula dari pegunungan. Sehingga air tersebut tidak lagi menjadi jernih. Dengan begitu, manusia yang beajar filsafat harus membuka hati dengan segala hal yang ada agar mengetahui secara utuh, apa itu filsafat.
Kehidupan manusia tidak terlepas dari bahasa. Bahasa dapat mempersatukan segala perbedaan yang ada, karena melalui bahasa lah kita dapat saling berkomunikasi menyampaikan pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Bahasa mencakup univoval, ekuivokal, struktur, lambang, semantik, tautology, maupun kontradiksi seperti pada Elegi Menggapai Bahasa yang telah dituliskan Prof. Marsigit dalam blognya. Sekelompok manusia atau bangsa yang hidup pada waktu tertentu tidak akan berkembang baik jika tidak terdapat bahasa. Begitu pula dengan filsafat dan bahasa yang meiliki keterkaitan. “sebenar-benar filsafat adalah bahasa; sebenar-benar dirimu adalah bahasamu; sebenar-benar rumahku adalah bahasa; sebenar-benar pikiran adalah bahasa, dan Sebenar-benar hidup adalah bahasa”.
Filsafat berarti menyampaikan apa yang ada di pikaran manusia. Kemudian ia nberusaha memahami apa yang ada di luar pikiranya. Sebagai bekal untuk melakukan keduanya maka diperlukan bahasa. Bahasa yang dapat menerjemahkan apa isi pikiran manusia. Pemikiran manusia terbagi menjadi dua dunia, yaitu dunia langit (di atas) dan dunia kenyataan (di bawahnya). Keduanya terbatasi oleh suatu garis yang akan membedakan dunia tersebut. Dalam proses perkembangan jaman, batas tersebut lama-lama akan luntur, bahkan terpisah.  
Ada dua tokoh yang ada dalam kedua pembagian dunia tersebut. Tokoh tersebut adalah Plato dan Aristoteles. Penganut faham menurut Plato, disebut dengan platonisme yang menganggap bahwa ilmu ada dari pikiran, sehingga pikiran anak-anak adan orang dewasa adalah sama. Sedangkan penganut faham menurut Aristoteles disebut Aristotelianisme yang menganggap bahwa ilmu adalah kenyataan.
Apa yang ada di dunia atas (langit) yaitu keyakinan atau spiritualisme dimana terdapat keyakinan tentang Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini juga bersifat absolut (absolutisme) dan tunggal (monoisme atau satu). Penting untuk menggunakan hati dalam mempercayai adanya Tuhan. Karena keimanan tertinggi terletak pada hati manusia. Monoisme juga bersifat identitas, tidak terikat ruang dan waktu. Sehingga absolutisme bersifat wajib.  Namun, sebenar-benar prinsip monoisme dan absolutisme adalah kuasa Tuhan yang sudah tertulis pada Kitab Suci Agama. Oleh karena itu semua yang ada di dunia ini bersifat plural (pluralisme) dan relatif (relativisme).
Pluralisme berbeda dengan monoisme, dimana plularisme berkaitan dengan kenyataan yang banyak. Hal ini kontradiksi dengan identitas. Karena sebenar-benar diriku tidak mampu menunjuk siapa sebenarnya dirimu. Siapa kita tadi, sekarang, dan nanti akan memiliki persepsi yang berbeda-beda namun merujuk pada satu objek. Sehingga pluralisme dalam filsafat ini terkait akan ruang dan waktunya.
Kehidupan di dunia berkaitan dengan materialisme. Materialisme, menekankan pada kebenaran yang hanya terletak pada materi saja. Selain itu, menganulir satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Karl Mark. Sebagai contoh dari materialisme ini adalah tindakan hegemoni yang dilakukan oleh para PKI dan Komunis.
Kehidupan di dunia memerlukan suatu intuisi. Intuisi merupakan  suatu kemampuan yang dimiliki seseorang namun secara tidak sadar ia gunakan dalam konteks watu dan ruang yang berbeda. Sebagai contohnya, apa itu cinta, sayang, cantik, jelek, bahagia, marah, dsb. Hal tersebut dapat kita fahami tanpa kita ingat kapan kita mempelajari itu semua. Inatuisi kan berbeda dengan pengetahuan yang kita peroleh dengan kita mempelajari ilmunya. Menurut Immanuel Kant untuk mendapatkan pengetahuan dapat dilakukan secara a priori, yaitu pengetahuan masih bersifat sebagaimana aslinya atau murni, konsep-konsep yang ada tidak didapatkan dari suatu pengalaman atau kenyataan yang ada, maka ia akan bisa secara sendirinya. Immanuel Kant juga mendapatkan kesimpulan bahwa pengetahuan bisa didapatkan dengan cara sintetik A priori yaitu dengan cara a priori (belum ada kenyatan) dan dengan cara a posteriori (memahami setelah mendengar/melakukan).
Matematika dapat bersifat abstrak dan konkrit. Sebagai contoh matematika abstrak, matematika murni akan berbeda dengan matematika pendidikan yaitu matematika yang diajarkan pada anak Matematika murni bersifat a priori, sedangkan matematika pada anak-anak bersifat kenyataan dan a posteriori. Jadi, ilmu hanya ada pada manusia dewasa saja yang bersifat rasionalisme dan skepitisisme. Bagi dunia anak-anak, ilmu hanyalah suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat empirisme. Karena, pengetahuan pada anak-anak akan diperoleh dari pengalamannya melalui kegiatan yang diberikan.
Perkuliahan ditutup dengan pembahasan tentang Fenomena Auguste Comte (filsafat positivisme) yang memperlihatkan adanya gejala positivisme di mana ilmu pengetahuan diperoleh dari fakta-fakta yang dapat dilihat. Pada gejala ini, akan menolak metafisika. Selain itu, etika bahkan teologi/ agama juga ikut ditolak, karena terkesan sebagai sesuatu yang tidak terlihat. Sedangkan perkembangan teknologi saat ini merupakan hasil dari gejala positivisme. Sehingga muncul lah dunia power now yang entah sampai kapan perkembangannya akan semakin besar. Apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah sebuah pertanyaan besar yang mudah untuk dipertanyakan namun sulit untuk dilakukan pengimplementasian jawaban tersebut. 

Demikian refleksi ini saya tuliskan. Tentu masih banyak kekurangannya.
Wassalamu'alaikum, Wr. Wb.

Minggu, 15 Oktober 2017

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 3 (Selasa, 3 Oktober 2017)

Gejala Filsafat
(sumber : Kuliah Prof. Marsigit, M. A.)

Assalamu'alaikum, Wr. Wb.

Bismillahirrohmanirrohim..

Kegiatan perkuliahan diawali lagi dengan tes jawab singkat. Kemudian dilanjutkan pembahasan. Terdapat berbagai macam gejala dalam filsafat. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing sifat nya. Contoh dari gejala filsafat ini adalah sebagai berikut.
  • Disharmoni, yaitu segala sesuatu yang sedang dalam keadaan tidak baik, tidak tepat, tidak pas ruang dan waktunya.
  • Simbolism, yaitu menujukkan bahwa filsafat dapat menggunakan simbol-simbol,tanda-tanda, kode-kode
  • Mitos, yaitu kondisi dimana seseorang tidak berfikir.
  •  Skeptisisme.
  • Subjectivisme (menurut diri sendiri); obyektivisme (menurut orang lain)
  • Relativisme yaitu tergantung situasi dan kondisi, lawannya yaitu absolutisme
  • Intuisionisme, reductionisme, skeptisisme, monoisme, nihilisme, hermenitika, Infinite regres
  • Authoritarian, kapitalisme
  • Analitik, Apostriori, dan masih banyak lagi.
Banyaknya gejala yang ada dalam filsafat tersebut dapat menunjukkan bahwa mempelajari filsafat tidak akan pernah ada habisnya, dan akan terus ada. Luasnya ilmu filsafat akan membuat seseorang yang mempelajarinya semakin ‘bingung’.

Ilmu ada karena pikiran manusia. Seseorang dapat menguasai ilmu dengan ilmu, atau ilmu yang berilmu. Sebenar-benarnya orang hidup adalah rajin dalam kemalasan dan malas dalam kerajinan. Manusia hanya tinggal menentukan waktu untuk malas dan rajin. Namun, penilaian rajin atau malas itu relatif. Bukan hal yang baik juga apabila seseorang rajin dalam segala hal, sebab tidak semua rajin itu selalu bermakna baik. Sebagai contohnya : rajin mengambil hak orang lain, rajin mencela orang, rajin menggunjing orang. Sehingga malaspun perlu bagi kita, jadi malaslah untuk hal-hal tertentu, misalnya malas korupsi, malas berbohong, malas berkata-kata buruk.

Manusia diciptakan dengan akal dan pemikiran yang berbeda-beda. Pemikiran seseorang tentu akan berbeda-beda pula. Bagaimana jika orang lain ingin mengikuti pemikiran kita? Tentu hal tersebut akan membatasi ruang gerak kita. Setiap manusia memiliki bayang-bayangnya sendiri. Jika mengikuti pikiran orang lain, maka sama saja ia mengikuti bayang-bayang orang tersebut yang akibatnya, ia akan menjadi tidak berdaya, tidak mampu bergerak, dalam artian tidak memiliki jadi diri.

Manusia tidak luput dari rasa ragu. Keraguan dari level bawah sampai keraguan dari level tinggi. eraguan bisa terjadi di dalam pikiran maupun secara fisik. Jika badan atau fisik seseorang jugak ragu-ragu maka akan sulit dikendalikan. Ragu-ragu dipikiran, itulah sebenar-benarnya tanda bahwa kita mau berfikir maka sebenar-benarnya filsafat silahkan engkau ragukan semuanya itu, tapi jangan sekali-kali meragu di dalam hati karena sebenar-benarnya ragu di hati itu adalah godaan syaiton. Oleh, karena itu sebenar-benarnya cara untuk mengatasi ganguan atau godaan hati adalah dengan memohon kepada Allah SWT, berdoa dan berzikir agar selalu dilindungi hatimu itu. Keraguan fisik, keraguan hati, keraguan pikiran, keraguan spiritual jangan sekali-kali ragu sebab itu adalah keyakinan kita.

Kembali pada pemahasan filsafat, apakah tanda-tanda seseorang seseorang telah berfilsafat? Filsafat dapat didefinisikan ke dalam tak terhingga banyaknya definisi. Bahkan menurut Prof. Marsigit, filsafat dapat diartikan menjadi 1001 macam definisi misalnya olah berpikir, bertanya, dan refleksi. Hal ini dikarenakan, filsafat merupakan hasil dari pemikiran para filsuf. Pemikiran tersebut tentu merujuk pada persepsi maupun sudut pandang yang berbeda pula. Lalu, baiamana hubungan filsafat dengan matematika, belajar filsafat ini merupakan sarana untuk membongkar pembelajaran matematika. Matematika murni adalah dunia cita-cita dunia orang dewasa, tanpa dunia kenyataan. Bila dihubungkan ke dunia anak anak yang merupakan dunia kenyataan tidak memungkinkan untuk menggunakan ilmunya orang murni, inilah salah satu peran filsafat yaitu menyesuaikan dunianya.  

Demikian refleksi yang dapat saya tuliskan, tentu masih banyak kekurangannya.

Wassalamu'alaikum, Wr. Wb.

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 2 (Selasa, 26 September 2017)

Hidup di dalam Perbatasan
(sumber : Kuliah Prof. Marsigit, M. A.)


Assalamu'alaikum, Wr. Wb.

Bismillahirrohmanirrohim..

Diawali dengan tes penempatan pertama. Kemudian dilanjutkan pembahasan. Setalah mengetahui hasilnya, saya tersadar, memang betul apa yang Bapak dosen sampaikan bahawa semakin tambah belajar makan akan semakin tidak tahu. Belajar filsafat tidak akan pernah selesai. Bahkan tidak pernah sama. Hikmah dari ketidaktahuan tersebut adalah sebuah nolisasi filsafat yaitu belajar filsafat harus dari bawah agar tidak kesulitan. Ketika belajar juga diperlukan suatu keikhlas dalam hati dan pikiran. Ikhlas hati yaitu membaca dengan senang, merasa sebagai ibadah, dan bersyukur memiliki kesempatan. Ikhlas dalam pikiran yaitu membaca dengan mengerti dan memahami.

Pertanyaan pertama : “Apa anda ?” jawabannya adalah ‘hakikat’.  Tiga pilar filsafat yaitu hakekat, metode, dan manfaat (ontologi, Epistemologi, aksiologi). Semua ciptaan Tuhan adalah potensi dalam arti filsafat. Contohnya batu, merupakan suatu potensi karena bisa bertambah besar atau kecil. Batu mempunyai potensi tercipta dan ditakdirkan dan berubah. Seorang anak juga potensi, yaitu potensi bisa jadi baik atau buruk. Siang potensi untuk malam, dan sebaliknya. Potensi ada 2 yaitu potensi takdir dan potensi ikhtiar / fital dan fatal. Potensi ikhtiar / potensi berubah tidak hanya dikarenakan oleh sistem alam.

Hidup itu pilihan. Mau kemana ? Jawabannya adalah memilih. Kita adalah dari yang terpilih. Kedepan yang terpilih dan kedepan yang memilih. Dan apa yang kita lakukan adalah sebuah ikhtiar. Sehingga setiap langkah adalah pilihan.

Mengapa adalah pertanyaan, bertanya adalah awaldari ilmu. Tiadalah ilmu kalau tidak ada pertanyaan. Siapa namamu? Jawabannya adalah dunia. Dunia setiap hal dengan apa yang dipikirkan. Semua kenyataan yang ada di belakang dan tidak terlihat/ terperhatikan disebut sebagai Epoche. Sebagai contohnya, seseorang punya anak, punya cucu, punya istri punya rumah, tapi saat ini tidak ada di hadapan orang tersebut, sehingga pemikiran tentang mereka perlu dimasukkan ke dalam epoche. Oleh karena itu, segala yang ada dibelakang seseorang akan dimasukkan kedalam epoche, dan cukup menghadapi apa yang ada di depannya.

Hidup itu berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang (kenyataan), dan masa depan. Masa depan yang ada di depan seseorang adalah suatu fenomena. Kemanapun seseorang akan pergi maka akan selalu diikuti oleh bayang-bayangnya. Hidup kita itu adalah bayang-bayang dari ajaran, agama, kitab suci Al-qur’an, hadis, ajaran orang tua, nasehat orang tua, kita ini adalah bayang-bayang. Bayang-bayang ini adalah suatu kenyataannya. Sehingga, dapat kita ketahui bahwa pada hakikatnya hidup berarti sebuah kenyataan.

Hidup merupakan sesuatu yang mengada, sebenar-benarnya mengada adalah perubahan. Sebenar-benar hidup adalah mengada, hasil dari mengada adalah pengada. Misalnya sebelum melakukan sesuatu hal atau kegiatan maka hal tersebut dianamakan mengada, keudian hasil dari mengada adalah pengada, yaitu segala hal yang sudah ada hasilnya atau bentuknya. Sebagai manusia yang sedang belajar, maka sebenar- benarnya belajar adalah mengada dari yang ada sampai yang mungkin ada. Yang ada itu ada sesuatu yang dimeengerti/ ada di dalam pikiran dan yang mungkin ada itu adalah sesuatu yang tidak dimengerti.

Sebenar-benarnya hidup adalah kalau kita berada di perbatasan. Pada perbatasan itulah terdapat ilmu, batas antara jelas dan tidak jelas, batas antara nyaman dan tidak nyaman, disini mengandung maksud bahwa pikiran sah-sah saja perbedaan, justru ilmu muncul karena adanya perbedaan jangan sampai perbedaan menjadi batas. Justru ada perbedaan itulah kita menpunyai ilmu.

Objek filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada, yang ada yaitu segala sesuatu yang ada dipikiran dan sesuatu yang mungkin ada itu adalah segala sesuatu yang belum diketahui.  Segala yang tidak diketahui dapat merubah dengan mudah apa yang mungkin ada menjadi apa yang ada. Dalam filsafat semua kejelasan itu adalah mitos. Apa yang manusia benci itu adalah mitos, mitos adalah ditengah-tengah yaitu nyaman, nyaman adalah mitos. Maka sebenar-benarnya nyaman adalah perjalanan ketidaknyamanan. Mitos itu berarti diam dan berhenti berpikir.

Pertanyaan selanjutnya yaitu dimanakah rumahmu? Secara filsafat, rumah kita adalah bahasa. Sebenar benarnya dirimu adalah bahasamu, sebenar-benar dirimu adalah kata-katamu, maka hati-hati kalau berbicara atau berkata-kata. Berpikir dalam hidup yaitu sama seperti apa bahasa kita. Pikiran kita yaitu tentang yang ada dan yang mungkin ada.

--- Menjawab salah satu pertanyaan dari mahasiswa ---

Bahagia itu sesuai dengan ruang dan waktunya, cocok dengan ruang dan waktunya. Menjalani hidup ini sebagaimana mestinya, sesuai dengan ruang dan waktunya. Ketika waktunya belajar ya haruslah belajar, ketika beribadah maka beribadah, waktunya sholah sholat, saatnya kuliah kuliah itulah yang bisa disebut dengan istiqomah.

Demikian refleksi yang dapat saya tuliskan, tentu masih banyak kekurangannya.

Wassalammu'alaikum, Wr.Wb.


REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 1 (Selasa, 5 Spetember 2017)

Berkenalan dengan Ilmu Kebalikan
(sumber : Kuliah Prof. Marsigit, M. A.)

Assalamualaikum, Wr. Wb.

Bismillahirrohmanirrohim..

Berawal dari sebuat perkenalan. Perkenalan merupakan kegiatan awal kami pada pertemuan pertama dengan ‘filsafat ilmu’, dengan dosen pengampu mata kuliah filsafat ilmu (Prof. Marsigit, M. A.), dengan segala kondisi dan situasi yang baru dan berbeda pula bagi saya. Mata kuliah ini merupakan  mata kuliah wajib yang diambil mahasiswa pada program PPs P.Mat UNY 2017. Pertemuan kami diawali dengan permintaan Bapak untuk duduk secara melingkar dan saling berdekatan. Kemudian dilanjutkan perkenalan dengan masing-masing mahasiswa. Setelah mahasiswa selesai, dilanjutkan perkenalan dari Bapak Prof. Marsigit. Melalui perkenalah itu, saya sudah mendapatkan banyak istilah-istilah yang bisa dibilang istilah dalam filsafat, contohnya: skeptis, spiritual, istilah awam, kontemporer, tradisional, dsb.

Sebelumnya saya pernah mendapatkan materi filsafat, namun jujur saja saya kurang memahami betul esensi dari mata kuliah tersebut. Bahkan terkadang yang ada dalam pikiran saya, filsafat adalah ilmu yang hanya bisa dijangkau oleh orang-orang tertentu (filsuf). Oleh karena itu, seperti apa yang disampaikan Prof. Marsigit, mencari ilmu harus ada semangat, power dari dalam diri sendiri. Karena Sebenar-benar diriku tidaklah mengetahui apapun (socrates).

Berbicara mengenai filsafat, orang yang berfilsafat yaitu orang yang berkomunikasi. Menggunakan bahasa awam untuk menjangkau area yang transenden, spiritual. Karena filsafat merupakan ikhtiar pikiran manusia, belum sampai pada dalil/ hadits/ al-qur’an. Syarat dari seseorang yang akan berfilsafat adalah adanya rasa bingung. Kebingungan yang dimaksud adalah bingung di dalam pikiran. Karena kebingungan tersebut menunjukkan adanya tanda – tanda seseorang mencari/ membangun ilmu. Akan tetapi, jangan sampai bingung di dalam hati yang nantinya malah bisa merusak keimanan kita.
Belajar filsafat berbeda dengan belajar ilmu lainnya, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu. Inilah mengapa saya memberi judul pada refleksi pertama ini dengan judul belajar ilmu kebalikan. Jika belajar matematika, awalnya tidak mengetahui apapun maka setelah belajar akan menjadi tahu suatu ilmu tentang matematika. Sehingga setelah kuliah berakhir maka akan berhati-hati dalam mendefinisikan filsafat.

Dalam filsafat pula, derajat seseorang yang tidak mengetahui apapun  lebih tinggi dari yang mengetahui suatu hal. Filsafat berarti mengalirkan gagasan-gagasan/ ide. Gagasan atau ide tersebut tentu memiliki sumber atau alasan tertentu, seperti segala sesuatu pasti punya landasan maupun arah. Bila dianalogikan bagaikan sebuah bangunan pasti punya pondasi di bawahnya. Landasan dalam berfilsafat adalah paradigma. Paradigma yang dimaksud adalah membangun (to construct) hal-hal yang baik secara luas dan dalam. Jika pada struktur dunia lain yang isomorfis, berawal dari spiritual kemudian turun kepada pengetahuan manusia, selanjutnya turun pada ilmu-ilmu bidang/ cabang. Kemudian turun kepada formalitas / aturan perundang-undangan, dilanjutkan  interaksi antar manusia, dunia tumbuhan, binatang, dan yang terakhir pada benda-benda yang ada di bumi.    
Landasan membangun tidak berbeda dengan landasan perkuliahan yang akan diterapkan, yaitu landasan paradigma. Paradigma perkuliahan yaitu membangun, sehingga mahasiswa diharapkan untuk cunstruct pengetahuannya sendiri tentang filsafat. Dosen sebagai fasilitator. Salah satu fasilitas yang diberikan yaitu berupa situs www.powermathematics.blogspot.com

Ketika proses mempelajari filsafat, tidak sedikit yang merasakan ketidakfahaman tentang hal tersebut. Semakin seseorang tidak memahami suatu hal ternyata berkaitan dengan dimensi seseorang. Pikiran yang tidak sampai kepada pemikiran filsuf lain, merupakan suatu dimensi. Dan dimensi seseorang akan selalu meningkat jika dilihat dari waktu. Selain itu, ketidakfahaman tersebut akan membuat kacau pikiran. Kacaunya pikiran merupakan tanda berfilsafat. Lalu apa yang bisa dilakukan? Yaitu tetap selalu berdoa pada Allah SWT. Ilmu ada karena pertanyaan, sehingga pertanyaan itu merupakan buah dari kacaunya pikiran.  Ilmu tersebut adalah ilmu dunia. Jika kebingungan ada di dalam pikiran, maka tetapkanlah hati.

Oleh karena itu : JALANI, PIKIRKAN, DAN DOAKAN
Jalanilah yang engkau pikirkan, pikirkanlah yang engkau jalani, keduanya diiringi dengan do’a.
Begitulah pesan pertama yang Prof. sampaikan pada kuliah pertama. Semoga menjadi bekal kita dalam mempelajari filsafat.
Demikian refleksi perkuliahan perdana yang bisa saya tuliskan. Tentu masih banyak kekurangannya. 

Wassalamu'alaikum..